Pelajaran Ketiga: Ketundukan Tanpa Syarat kepada Syariat Allah

You are currently viewing Pelajaran Ketiga: Ketundukan Tanpa Syarat kepada Syariat Allah

Pelajaran Ketiga: Ketundukan Tanpa Syarat kepada Syariat Allah

Ibadah haji bukan hanya menyentuh aspek spiritual, tetapi juga melatih kita dalam ketaatan total kepada perintah Allah—meskipun kita belum memahami sepenuhnya hikmahnya. Banyak dari amalan haji yang tidak bisa dijelaskan secara logika manusia, namun justru itulah esensi dari ibadah: ketaatan total tanpa syarat.

1. Lempar Jumrah: Simbol Ketaatan, Bukan Sekadar Ritual

Mengapa melempar batu di tiga titik tertentu? Mengapa harus tujuh kali lemparan, bukan tiga atau sembilan?
Mengapa setelah jumrah Ula dan Wustha disunnahkan berdoa, tetapi setelah Jumrah Aqabah tidak disunnahkan?

Semua itu tidak selalu dijelaskan secara rinci oleh logika. Tapi semua itu disyariatkan oleh Rasulullah ﷺ dan diamalkan oleh para sahabat tanpa banyak tanya.

Hikmahnya: Haji mengajarkan bahwa ketaatan tidak selalu perlu penjelasan rasional. Yang paling utama adalah “Samina wa atha’na” – kami dengar dan kami taat.


2. Mabit di Mina: Ikuti Tuntunan, Bukan Kenyamanan

Mengapa kita harus bermalam di Mina dua malam, atau tiga malam untuk yang memilih nafar tsani?

Mengapa tidak di hotel yang lebih nyaman?

Jawabannya kembali pada ketaatan kepada perintah Allah dan Rasul-Nya. Haji adalah ibadah yang tidak dibangun atas logika kemudahan belaka, tetapi pada keikhlasan mengikuti sunnah.


3. Waktu dan Tempat yang Mulia: Hak Prerogatif Allah

Allah-lah yang menentukan mana tempat yang mulia dan kapan waktu yang dimuliakan. Ini adalah hak eksklusif Allah sebagai Sang Pencipta. Sebagaimana firman-Nya:

“Ala lahul khalqu wal amr”
“Ingatlah, hanya milik Allah penciptaan dan perintah.” (QS. Al-A’raf: 54)

Mengapa haji di bulan Zulhijjah, bukan di bulan Ramadan yang dianggap lebih utama oleh banyak orang?
Mengapa wukuf dilakukan di tanggal 9 Zulhijjah, bukan hari lain?

Jawabannya hanya satu: karena Allah menghendakinya demikian.


4. Makkah dan Arafah: Mulia karena Dikehendaki Allah

Makkah adalah kota paling mulia di bumi, meskipun secara lahiriah tandus dan tidak subur. Bahkan Nabi Ibrahim `alaihis salam pernah berkata:

“Aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak memiliki tanaman, di sisi rumah-Mu yang suci.”
(QS. Ibrahim: 37)

Mengapa Makkah, bukan Madinah, bukan Palestina, bahkan bukan tempat lain yang lebih hijau dan nyaman?

Karena Allah-lah yang menetapkannya.

Begitu pula dengan Arafah, Safa, Marwah, dan Ka’bah—semuanya menjadi mulia karena Allah menghendakinya.


Refleksi: Jangan Menetapkan Sendiri Apa yang Mulia

Sebagai muslim, kita harus berhati-hati dalam menentukan apa yang dianggap sakral atau istimewa. Jangan sampai kita mengagungkan tempat atau waktu tertentu hanya berdasarkan kebiasaan, budaya, atau emosi, tanpa dalil syariat.

Ibadah haji mengajarkan kita prinsip dasar ini:

“Yang mulia adalah yang dimuliakan Allah. Yang utama adalah yang diutamakan Allah. Dan ibadah yang diterima adalah yang sesuai tuntunan Rasulullah ﷺ.”


Kesimpulan: Haji Adalah Sekolah Tauhid dan Ketaatan

Dari talbiyah, thawaf, sa’i, melempar jumrah, hingga mabit, semua rukun dan wajib haji adalah pembelajaran tauhid dan ketaatan sejati. Bukan sekadar pergerakan fisik, tapi latihan ruhani untuk mengesakan Allah dalam niat, ibadah, dan sikap hidup kita.

Semoga Allah menjadikan kita hamba-hamba-Nya yang:

  • Tunduk kepada syariat meskipun belum tahu hikmah.
  • Mengesakan Allah dalam setiap aspek hidup.
  • Tidak menyekutukan-Nya dengan apapun, baik dalam ibadah maupun penetapan nilai-nilai.

Insya Allah bersambung

Disarikan dari kajian Manasik Haji 1446 H bersama Nasrotul Ummah Travel & Mumtaz Indonesia oleh Ustadz Dr. Musyaffa’ Ad-Dariny, M.A.

Leave a Reply