Tabaruk yang Sesuai Syariat dan Keagungan Ka’bah

You are currently viewing Tabaruk yang Sesuai Syariat dan Keagungan Ka’bah

Jangan Bertabaruk dengan Cara yang Tidak Diajarkan

Memuliakan Ka’bah adalah syiar Islam. Namun, cara memuliakannya harus sesuai dengan tuntunan syariat. Menyentuh, mencium, atau menggosok bagian Ka’bah selain Hajar Aswad dan Ruknul Yamani tidak memiliki keutamaan.

Imam Ibnu Qayyim rahimahullah berkata:

“Adapun bertabaruk dengan menyentuh Ka’bah atau mencium selain bagian yang disyariatkan, itu adalah bid’ah dan bukan bagian dari agama ini sedikit pun.”

Syekh al-Islam Ibnu Taimiyah juga menegaskan bahwa apa pun yang tidak dicontohkan Rasulullah ﷺ dalam memuliakan Ka’bah, maka itu tidak dibenarkan, meskipun niatnya baik.

Sayangnya, banyak yang menggosokkan badan, punggung, surban, bahkan kain ke dinding Ka’bah, lalu membawanya pulang sebagai “oleh-oleh berkah”. Padahal, tabaruk yang tidak syar’i dapat menjadi bentuk bid’ah yang justru menjauhkan dari nilai tauhid.


Keistimewaan Ka’bah: Tidak dari Dunia, Tapi dari Akhirat

Ka’bah dibangun oleh Nabi Ibrahim dan putranya Ismail di tengah lembah Makkah yang gersang. Tidak ada:

  • Air atau tanaman
  • Istana atau taman
  • Tentara atau harta
  • Keindahan duniawi

Namun seluruh hati manusia condong kepadanya. Kenapa?

Karena Allah Azza wa Jalla yang menjadikan hati-hati itu mencintai Ka’bah, bukan karena nilai duniawinya, tapi karena kedudukannya di sisi Allah.

“Dan ingatlah ketika Kami menjadikan rumah (Ka’bah) tempat berkumpul dan tempat yang aman bagi manusia…”
(QS. Al-Baqarah: 125)

Ka’bah adalah tempat berkumpulnya hati yang ingin kembali kepada Allah, bukan tempat pelarian untuk mengejar dunia.


Tangisan Nabi ﷺ Saat Mencium Hajar Aswad: Rahasia Hati yang Terkondisi

Disebutkan dalam hadits hasan riwayat Imam Al-Baihaqi dan dinyatakan kuat oleh Imam Ibn Katsir dan Al-Albani:

“Fabadaa bil hajar fastalamahu wafadat ‘ainahu bil buka…”
“Rasulullah memulai tawaf dari Hajar Aswad, lalu menciumnya, dan berlinanglah air matanya.”

Kenapa Nabi menangis?

Karena hati beliau telah terkondisi dengan mahabbah (cinta), raja’ (harap), dan khauf (takut) sejak masih di perjalanan dari Madinah. Miqat beliau jauh, perjalanan beliau panjang—berhari-hari dengan penuh talbiah.

Talbiah yang terus-menerus melahirkan:

  1. Cinta kepada Allah (mahabbah)
  2. Kerinduan kepada rumah-Nya (syauq)
  3. Takut kepada hisab dan harap akan rahmat-Nya (khauf & raja’)

Ketika akhirnya sampai di hadapan Ka’bah dan mencium Hajar Aswad—satu-satunya titik fisik dari rumah Allah yang boleh disentuh dan dicium—maka tumpahlah air mata beliau.

Tangisan itu bukan karena lelah.
Bukan karena haru duniawi.
Tapi karena tumpahan emosi ruhani yang telah dipupuk sejak jauh-jauh hari.


Tawaf Seperti Malaikat di Sekitar Arsy

Menurut Syekh Abdurrahman bin Muhammad ad-Dausari:

“Tawaf yang dilakukan manusia di sekitar Ka’bah menyerupai tawafnya para malaikat di sekitar Arsy Allah.”

Imam Al-Qurtubi menyebut bahwa:

  • Para malaikat bertasbih tanpa henti di sekitar Arsy.
  • Mereka berputar, berdzikir, dan mengagungkan Allah—tanpa lelah, tanpa berhenti, dan tanpa bosan.

Demikian pula jemaah haji dan umrah saat tawaf:

  • Mereka mengelilingi rumah Allah.
  • Dengan dzikir, tasbih, dan doa.
  • Menyerupai ibadah langit yang penuh keikhlasan.

Tawaf bukan sekadar gerakan fisik, tapi ibadah penuh makna yang mengandung cinta, rasa hina, harap, takut, dan penghambaan mutlak kepada Allah.


Kesimpulan

  • Tabaruk kepada Ka’bah harus sesuai syariat. Jangan menyentuh atau mencium bagian Ka’bah yang tidak dicontohkan Nabi.
  • Ka’bah adalah pusat spiritual, bukan daya tarik dunia.
  • Tangisan Rasulullah ﷺ di Hajar Aswad adalah puncak dari cinta dan kerinduan kepada Allah.
  • Tawaf adalah ibadah hati dan badan, menyerupai malaikat di sekitar Arsy.

Semoga Allah mengaruniakan kita keikhlasan dan kekhusyukan saat mengunjungi Baitullah, dan menerima setiap langkah kita menuju-Nya.

Leave a Reply